Selasa, 04 Desember 2012

INFO KAJIAN


Minggu, 29 Juli 2012

JADWAL KAJIAN UNTUK DAERAH TANJUNG BALAI KARIMUN



Waktu: Ahad ba’da isya
Tempat: Masjid Al Hikmah, Kapling
Materi: Fiqih
Pengisi: Ust. Abu Ulya

Waktu: Selasa ba’da isya
Tempat: Ahad ba’da isya
Tempat: Masjid Al Hikmah, Kapling
Materi: Akhlak
Pengisi: Ust. Abu Ulya

Waktu: Kamis ba’da isya
Tempat: Masjid Al Hikmah, Kapling
Materi: Tauhid
Pengisi: Ust. Firdaus

Waktu: Sabtu ba’da isya
Tempat: Masjid Al Hikmah, Kapling
Materi: B. Arab/Aqidah
Pengisi: Ust. Abul Husain

--- Ketika Abu Nawas Berdoa Minta Jodoh ---

Ada saja cara Abu Nawas berdoa agar dirinya mendapatkan jodoh dan menikah. Karena kecerdasan dan semangat dalam dirinya, akhirnya Abu Nawas mendapatkan istri yang cantik dan shalihah.

Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa. Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memiliki sebuah keluarga.

Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita. Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah. Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu. Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

"Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku. Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu. Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya. Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah. Ia pun introspeksi diri.

"Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi. Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya. Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri. Lama-lama ia mulai khawatir juga. Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia. Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

Abu Nawas memang cerdas. Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah. Ia pun mengubah doanya.

"Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku. Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah. Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan. Maka, berikanlah ia menantu," begitu doa Abu Nawas.

Barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas. Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya. Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.

Kamis, 12 Juli 2012

Jenis-Jenis rumah Yang Tidak Dimasuki Malaikat

Berikut dibawah ini penjelasanya :Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةُ تَمَاثِيلَ"Malaikat Tidak masuk rumah yang terdapat anjing dan gambar makhluq bernyawa di dalamnya".(Muttafaq 'Alaih dari hadits Abu Tholhah, lafadz milik Bukhori)Abdullah bin Abbas رضي الله عنه berkata:يُرِيدُ التَّمَاثِيلَ الَّتِي فِيهَا الْأَرْوَاحُ"Yang dimaksud adalah patung/ gambar bernyawa"( AlBukhari)Syaikh Utsaimin رحمه الله berkata:"Bagaimana pendapatmu dengan rumah yang tidak dimasuki malaikat ? Sungguh itu rumah yang buruk…(Syarh Ar Riyadh).Syaikh Abdul Muhsin حفظه الله berkata:"Malaikat yang dimaksud ialah "Malikat Rahmah", adapun Malaikat yang di utus mencatat amal, mereka selalu bersama manusia, hal yang terdapat dalam hadits ini tidak menghalangi mereka untuk selalu menyertai manusia, dan di dalam hadits ini mengandung peringatan supaya jangan terjatuh dalam perkara-perkara (haram) ini…, dan anjing dikecualikan daripadanya anjing-anjing yang diizinkan, yaitu anjing untuk berburu, penunggu tanaman, atau anjing penunggu hewan ternak…, dan gambar yang di maksud ialah gambar makhluq bernyawa, baik berbentuk patung/relief maupun berbentuk gambar/lukisan…"(Syarh Abu Dawud).Berkata Al Mubarak Furi pemilik kitab "Tuhfatul Ahwadzi":"((Malaikat tidak masuk)) yang dimaksud ialah Malaikat "RAHMAH", bukan Malikat "HAFADZAH" (Yang senantiasa menyertai kita dan mencatat segala perilaku kita) dan bukan malaikat "MAUT" (Yang bertugas mencabut nyawa).((RUMAH)), yang di maksud ialah tempat tinggal.((ANJING)), kecuali anjing untuk berburu, penjaga ternak dan kebun, ada yang berpendapat "Anjing-anjing itu menghalangi juga, meskipun memeliharanya tidak terlarang".((GAMBAR TAMATSIL)), yang dimaksud ialah "gambar" seperti dalam "Al QOMUSH" dan lainnya, artinya "gambar manusia dan binatang", berkata An Nawawi:"Para Ulama berkata: Penyebab tidak masuknya "Malaikat" ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar ialah karena "GAMBAR" (makhluq bernyawa) itu merupakan perbuatan ma'siat yang teramat keji, dan menandingi ciptaan Allah Ta'ala, sebagian lagi disembah, dan sebab tidak masuknya karena "ANJING" anjing itu banyak makan najis, sebagian anjing ada yang dinamakan "SYETHAN" seperti dalam sebuah hadits (udah di bahas oleh penukil dalam blog ini), sementara Malaikat itu lawannaya Syethan, dan oleh karena bau "anjing" itu busuk, sementara Malaikat tidak menyenangi bau busuk, juga karena memelihara "anjing" terlarang (udah dibahas juga), maka pemeliharanya dihukum dengan tidak masuk Malaikat ke dalam rumahnya, tidak shalat di dalamnya, tidak memintakan ampunan, tidak memohonkan barokah, dan tidak pula melindungi (penghuni rumah) dari gangguan Syetan, Malikat-Malaikat yang tidak mau masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar ialah Malaikat Rahmah, Yang memohonkan Barakah dan pengampunan, adapun Malikat "Hafadzah", mereka masuk ke setiap rumah dan tidak pernah berpisah dengan Bani Adam dalam setiap keadaan, sebab mereka di perintah untuk meliput segenap amalan (Bani Adam) dan menulisnya.Berkata Al Khothobi: "Malaikat hanya tidak mau masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar yang haram, adapun anjing yang tidak haram seperti anjing untuk berburu, penjaga kebun dan ternak dan gambar yang dihinakan seperti yang terdapat pada hamparan / tikar dan bantal serta lainnya maka tidak lah menghalangi masuknya Malaikat, Al Qodhi juga mengisyaratkan seperti yang dinyatakan oleh Al Khothobi, dan yang lebih tepat (ini Pendapat An Nawawi) mencakup seluruh jenis anjing dan gambar berdasarkan mutlaqnya berbagai hadits, dan oleh sebab "ANAK ANJING" yang di rumah Nabi صلى الله عليه وسلم yang terdapat di bawah ranjang itu "tidak nampak", beliau tidak mengetahui ada anak anjing (di dalam rumahnya), namun ternyata Jibril tidak mau masuk rumah dengan alasan "ANAK ANJING" itu, maka seandainya ada gambar dan anjing yang tidak menghalangi masuknya "Malaikat" niscaya Jibril pun tidak terhalang." (Tuhfah)Patung di potong kepalanya supaya seperti pohon, gambar di kain di potong dijadikan dua bantal, dan anjing di usir dari rumah.Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:أتاني جبريل فقال : إني كنت أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت عليك البيت الذي كنت فيه إلا أنه كان على الباب تماثيل و كان في البيت قرام ستر فيه تماثيل و كان في البيت كلب فمر برأس التمثال الذي في البيت فليقطع فيصير كهيئة الشجرة و مر بالستر فليقطع فيجعل وسادتين منبذتين توطئان و مر بالكلب فليخرج"Jibril mendatangiku lalu berkata: "Sesungguhnya aku datang kepadamu semalam dan tidak ada yang menghalangiku memasuki rumahmu melainkan di atas pintu ada beberapa patung, di dalam rumah ada kain tipis bergambar, serta ada anjing, maka perintahkan patung itu di potong kepalanya supaya menjadi seperti bentuk pohon dan perintahkan kain tipis penutup (dinding) itu dipotong lalu di jadikan dua bantal yang di sandari dan perintahkan dengan anjing supaya di keluarkan." (HR> Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi dll, dishahihkan Albani dalam shahihul jami')Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله dalam "Syarhul 'Umdah":"Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar baik di kain penutup, pakaian, dan yang lain, yang diberi keringanan ialah "gambar yang di injak (di hinakan) seperti hadits aisyah."FAEDAH:Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata:"Saya pernah mendengar beliau (Gurunya Syaikhul Islam) berkata perihal Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :" لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا صورة ""Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar",

"Bila Malaikat yang mereka adalah makhluq terhalangi oleh anjing dan gambar dari memasuki rumah, maka akankah masuk ma'rifatullah (mengenal Allah) Azza wa Jalla, Cinta kepadaNya, Manisnya Dzikir kepadaNya, serta senang mendekat kepadaNya di dalam hati yang dipenuhi oleh anjing-anjing Syahwat dan gambar-gambar syahwat…"(Tafsir Ibnul Qoyyim).

Senin, 25 Juni 2012

Shalat di Masjid yang Ada Kubur


Di beberapa daerah di negeri kita, beberapa masjid nampak bersandingan dengan kuburan. Ada yang kuburnya berada di arah kiblat, di belakang masjid atau di samping masjid. Kubur tersebut bisa berada di dalam masjid, bisa jadi untuk diagungkan, bisa jadi pula sebagai wasiat dari pemilik tanah yang mewakafkan tanahnya untuk masjid, di samping ada yang punya tujuan agar si mayit dalam kubur terus didoakan oleh orang-orang yang berkunjung di masjid tersebut. Padahal adanya kuburan di masjid semacam ini adalah wasilah untuk mengagungkan kubur, akan mengarah pada menggantungkan hati pada mayit dan jalan menuju kesyirikan.
Larangan Shalat di Kubur
Seluruh tempat di muka bumi ini bisa dijadikan tempat untuk shalat, itulah asalnya. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
Seluruh bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah di tempat tersebut” (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no. 521).
Namun ada tempat-tempat terlarang untuk shalat semisal kuburan atau daerah pemakaman.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR. Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, Ad Darimi no. 1390, dan Ahmad 3: 83. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Abu Martsad Al Ghonawi, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
Janganlah shalat menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya” (HR. Muslim no. 972).
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Jadikanlah shalat (sunnah) kalian di rumah kalian dan jangan menjadikannya seperti kuburan” (HR. Muslim no. 777). Hadits ini, kata Ibnu Hajar menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk ibadah. Hal ini menunjukkan bahwa shalat di pekuburan adalah terlarang (Lihat Fathul Bari, 1: 529).
Para ulama mengatakan bahwa dikecualikan dalam masalah shalat di kubur adalah shalat jenazah.
Larangan Bersatunya Kubur dan Masjid
Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR. Muslim no. 532).
Ummu Salamah pernah menceritakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai gereja yang ia lihat di negeri Habaysah yang disebut Mariyah. Ia menceritakan pada beliau apa yang ia lihat yang di dalamnya terdapat gambar-gambar. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani di mana mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid” (HR. Bukhari no. 1330 dan Muslim no. 529).
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh membangun masjid di atas kubur karena seperti itu adalah wasilah (perantara) menuju kesyirikan dan dapat mengantarkan pada ibadah kepada penghuni kubur. Dan tidak boleh pula kubur dijadikan tujuan (maksud) untuk shalat. Perbuatan ini termasuk dalam menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena alasan menjadikan kubur sebagai masjid ada dalam shalat di sisi kubur. Jika seseorang pergi ke pekuburan lalu ia shalat di sisi kubur wali –menurut sangkaannya-, maka ini termasuk menjadikan kubur sebagai masjid. Perbuatan semacam ini terlaknat sebagaimana laknat yang ditimpakan pada Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid” (Al Qoulul Mufid, 1: 404).
Para ulama menerangkan bahwa jika masjid yang dahulu, setelah itu masuklah kubur, maka kubur yang mesti dimusnahkan. Sedangkan jika kubur lebih dahulu, barulah setelah itu dibangun masjid, berarti masjid tersebut yang mesti dimusnahkan. Inilah jalan untuk menutup pintu dari kesyirikan.
Shalat di Masjid yang Ada Kuburan
Mengenai hadits-hadits di atas, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah membawakannya dalam Kitab Tauhid dalam Bab “Peringatan keras terhadap siapa yang beribadah kepada Allah di sisi kubur orang sholeh, lebih-lebih jika beribadah kepada orang sholeh tersebut”. Penulis Fathul Majid, Syaikh ‘Abdurrahman Alu Syaikh berkata, “Jika seseorang beribadah pada orang sholeh (yang ada dalam kubur, pen), maka perbuatan tersebut adalah syirik akbar. Sedangkan beribadah kepada Allah di sisi kubur orang sholeh adalah wasilah (perantara) untuk beribadah padanya dan ini adalah termasuk perantara kepada syirik yang diharamkan. Beribadah di sisi kuburan orang sholeh dapat mengantarkan kepada syirik akbar. Dan itu adalah sebesar-besarnya dosa” (Fathul Majid, hal. 243).
Penjelasan hadits-hadits di atas menunjukkan larangan shalat di masjid yang ada kubur. Apalagi bertambah jelas dengan penjelasan Syaikh Muhammad At Tamimi dan Syaikh ‘Abdurrahman Alu Syaikh -rahimahumallah- mengenai penafsiran hadits-hadits di atas.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid ada dua makna:
1. Membangun masjid di atas kubur.
2. Menjadikan kubur sebagai tempat untuk shalat, di mana kubur menjadi maksud (tujuan) ibadah. Namun jika seseorang shalat di sisi kubur dan tidak menjadikan kubur sebagai maksud (tujuan), maka ini tetap bermakna menjadikan kubur sebagai masjid dengan makna umum. (Al Qoulul Mufid, 1: 411)
Kami pernah mengajukan pertanyaan pada Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah mengenai kasus suatu masjid, yaitu masjid tersebut terdapat satu kuburan di arah kiblat namun di balik tembok, di mana kuburan tersebut masih masuk halaman masjid, bagaimana hukum shalat di masjid semacam itu?
Jawaban beliau hafizhohullah, “Jika kuburan tersebut masih bersambung (muttashil) dengan masjid (artinya: masih masuk halaman masjid), maka tidak boleh shalat di masjid tersebut. Namun jika kuburan tersebut terpisah (munfashil), yaitu dipisah dengan jalan misalnya dan tidak menunjukkan bersambung dengan masjid (artinya bukan satu halaman dengan masjid), maka boleh shalat di masjid semacam itu”. (Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan, Al Muntaqo).
Al Lajnah Ad Daimah, komis fatwa di Saudi Arabia menjelaskan,
إذا كان المسجد مبنيًا على القبر فلا تجوز الصلاة فيه وكذلك إذا دفن في المسجد أحد بعد بنائه ، ويجب نقل المقبور فيه إلى المقابر العامة إذا أمكن ذلك ؛ لعموم الأحاديث الدالة على تحريم الصلاة في المساجد التي فيها قبور .
“Jika masjid dibangun di atas kubur, maka tidak boleh shalat di masjid seperti itu. Begitu pula jika di dalam masjid dikubur seseorang setelah masjid dibangun, maka tidak boleh shalat di masjid semacam itu. Wajib memindahkan mayit yang dikubur ke pemakaman umum karena hal ini ditunjukkan oleh hadits yang mengharamkan shalat di masjid yang ada kubur.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 4335)
Bagaimana dengan Masjid Nabawi?
Sebagian orang menyampaikan syubhat mengenai masjid Nabawi (di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah). Jika memang shalat di masjid yang ada kubur terlarang, lantas bagaimana dengan keadaan masjid Nabawi itu sendiri? Bukankah di dalamnya ada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah mengatakan bahwa syubhat ini adalah talbis, yaitu ingin menyamarkan manusia. (Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan, Al Muntaqo).
Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini:
1. Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur. Bahkan yang benar, masjid Nabawi dibangun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup.
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di kubur di masjid sehingga bisa disebut dengan orang sholeh yang di kubur di masjid. Yang benar, beliau dikubur di rumah beliau.
3. Pelebaran masjid Nabawi hingga sampai pada rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah ‘Aisyah bukanlah hal yang disepakati oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Perluasan itu terjadi ketika sebagian besar sahabat telah meninggal dunia dan hanya tersisa sebagian kecil dari mereka. Perluasan tersebut terjadi sekitar tahun 94 H, di mana hal itu tidak disetujui dan disepakati oleh para sahabat. Bahkan ada sebagian mereka yang mengingkari perluasan tersebut, di antaranya adalah seorang tabi’in, yaitu Sa’id bin Al Musayyib. Beliau sangat tidak ridho dengan hal itu.
4. Kubur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di masjid, walaupun sampai dilebarkan. Karena kubur beliau di ruangan tersendiri, terpisah jelas dari masjid. Masjid Nabawi tidaklah dibangun dengan kubur beliau. Oleh karena itu, kubur beliau dijaga dan ditutupi dengan tiga dinding. Dinding tersebut akan memalingkan orang yang shalat di sana menjauh dari kiblat karena bentuknya segitiga dan tiang yang satu berada di sebelah utara (arah berlawanan dari kiblat). Hal ini membuat seseorang yang shalat di sana akan bergeser dari arah kiblat. (Al Qoulul Mufid, 1: 398-399)
Demikian bahasan kami mengenai hukum shalat di masjid yang ada kubur. Yang nampak dari dalil, bahwa shalat di tempat semacam itu adalah haram. Adapun mengenai kesahan shalat di masjid yang ada kubur, butuh dibahas dalam bahasan lainnya.
Semoga Allah beri hidayah demi hidayah. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
- Al Muntaqo fil Ahkamisy Syari’ah min Kalami Khoiril Bariyyah, Majduddin Abul Barokat ‘Abdussalam bin Taimiyah Al Haroni, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.
- Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1424 H.
- Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta’, cetakan ketujuh, tahun 1431 H.
- Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, kitab Al Muntaqo karya Majduddin Abul Barokat ‘Abdussalam bin Taimiyah Al Haroni, 8 Jumadal Ula 1433 H, di Hay Malaz, Riyadh, KSA.
Disusun @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 8-9 Jumadal Ula 1433 H

Rabu, 16 Mei 2012

Kita Termasuk yang Mana…?


Bismillah...

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan, tatkala ilmu seorang hamba bertambah, bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan waspada di dalam dirinya[1]; tatkala bertambah umurnya, berkuranglah ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya bertambah, kedermawanannya pun bertambah; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah tinggi, maka bertambah pula kedekatannya dengan manusia, dirinya akan semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan merendahkan diri di hadapan mereka.

Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala ilmunya bertambah, bertambah pula kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala umurnya bertambah, ketamakannya terhadap dunia justru semakin bertambah; tiap kali hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan martabatnya bertambah, bertambah pula keangkuhan dan kecongkakannya.

Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di antara mereka ada yang beruntung, sebagian yang lain justru celaka.

Demikian pula dengan kemuliaan, seperti kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah cobaan. Allah ta’ala berfirman,

فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ (٤٠)

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (QS. An Naml: 40).

Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar). Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya, karena Dia menguji para hamba dengan berbagai nikmat dan musibah.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦)

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al Fajr: 15-16).

Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan duniawi, maka hal itu merupakan bentuk pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan kehinaan baginya.

Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 403-404

Uban adalah Cahaya Bagi Seorang Mukmin


Bismillah...

Al Baihaqi membawakan sebuah pasal dengan judul “larangan mencabut uban”. Lalu di dalamnya beliau membawakan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة

“Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah -yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban- dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.” Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة

“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Uban Tidak Boleh Dicabut

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ

“Barangsiapa memiliki uban di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban, namun bermakna ancaman.

Rambut uban mana yang dilarang dicabut?

Larangan mencabut uban mencakup uban yang berada di kumis, jenggot, alis, dan kepala. (Al Jami’ Li Ahkami Ash Shalat, Muhammad ‘Abdul Lathif ‘Uwaidah, 1/218, Asy Syamilah)

Apa hukum mencabut uban apakah haram ataukah makruh?

Para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa mencabut uban adalah makruh.

Abu Dzakaria Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil. Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala (yaitu sama-sama terlarang). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/292-293, Mawqi’ Ya’sub)

Namun jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena perbuatan tersebut termasuk an namsh yang dilaknat.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لعن الله الربا و آكله و موكله و كاتبه و شاهده و هم يعلمون و الواصلة و المستوصلة و الواشمة و المستوشمة و النامصة و المتنمصة

“Allah melaknat riba, pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui (bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu pula orang yang mencabut rambut pada wajah dan yang meminta dicabut.” (Diriwayatkan dalam Musnad Ar Robi’ bin Habib. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun mencabut uban dari jenggot atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah, maka perbuatan seperti ini diharamkan karena termasuk an namsh. An namsh adalah mencabut rambut yang tumbuh di wajah dan jenggot. Padahal terdapat hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan an namsh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 11/80, Asy Syamilah)

Kesimpulan: hukum mencabut uban dapat dikatakan haram karena ada dalil tegas mengenai hal ini, sedangkan mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah makruh. Namun sebagai seorang muslim yang ingin selalu mengikuti petunjuk Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak kehilangan cahaya di hari kiamat kelak, maka seharusnya seorang muslim membiarkan ubannya (tidak perlu dicabut). Dengan inilah dia akan mendapat tiga keutamaan: [1] Allah akan mencatatnya kebaikan, [2] dan menghapuskan kesalahan serta [3] akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia. Namun, jika uban tersebut berada pada jenggot atau rambut yang tumbuh di wajah, maka ini jelas haramnya. Wallahu a’lam.

-bersambung pada pembahasan menyemir rambut, Insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Terperdaya Oleh Nikmat


Bismillah...

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang terlena dengan kenikmatan dunia. Di antara kenikmatan yang membuat banyak orang lupa akan jati diri dan tujuan hidupnya adalah nikmat kesehatan dan waktu luang. Terutama nikmat waktu, yang begitu banyak orang lalai memanfaatkannya dengan baik. Sehingga banyak sekali waktu mereka yang terbuang percuma bahkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang bahaya.

Duduk di depan televisi seharian pun tak terasa, terhenyak sekian lama di hadapan berita-berita terbaru yang disajikan media massa sudah biasa, dan berjubel-jubel memadati stadion selama berjam-jam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola atau konser grup band idola pun rela. Aduhai, alangkah meruginya kita tatkala waktu kehidupan yang detik demi detik terus berjalan menuju gerbang kematian ini kita lalui dengan menimbun dosa dan menyibukkan diri dengan perbuatan yang sia-sia.

Saudaraku, ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada dua buah nikmat yang kebanyakan orang terperdaya karenanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/258])

Saudaraku, sesungguhnya dunia ini merupakan ladang akherat. Di dalam dunia ini terdapat sebuah perdagangan yang keuntungannya akan tampak jelas di akherat kelak. Orang yang memanfaatkan waktu luang dan kesehatan tubuhnya dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah maka dialah orang yang beruntung. Adapun orang yang menyalahgunakan nikmat itu untuk bermaksiat kepada Allah maka dialah orang yang tertipu (lihat Fath al-Bari [11/259])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti layaknya orang yang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhari [6416] dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/263])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang yang lima: [1] Masa mudamu sebelum masa tuamu, [2] masa sehatmu sebelum sakitmu, [3] masa kayamu sebelum miskinmu, [4] waktu luangmu sebelum sibukmu, dan [5] hidupmu sebelum matimu.” (HR. al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/264], hadits ini disahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 486)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah sekedar kesenangan sementara, dan sesungguhnya akherat itulah negeri tempat tinggal yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 39)

Ada seorang yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”. Maka beliau menjawab, “Bagaimanakah menurutmu mengenai seorang yang melampaui tahapan perjalanan setiap harinya menuju alam akherat?”. al-Hasan berkata, “Sesungguhnya dirimu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu, maka lenyaplah sebagian dari dirimu.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 482)

Sebagian orang bijak berkata, “Bagaimana bisa merasakan kegembiraan dengan dunia, orang yang perjalanan harinya menghancurkan bulannya, dan perjalanan bulan demi bulan menghancurkan tahun yang dilaluinya, serta perjalanan tahun demi tahun yang menghancurkan seluruh umurnya. Bagaimana bisa merasa gembira, orang yang umurnya menuntun dirinya menuju ajal, dan masa hidupnya menggiring dirinya menuju kematian.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 483)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH. [IMAN DAPAT BERTAMBAH ATAU BERKURANG]


Bismillah...

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah .? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang .?"

Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :

[1] Ikrar dengan hati.
[2] Pengucapan dengan lisan.
[3] Pengamalan dengan anggota badan

Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.

"Arrtinya : Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab :'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". [Al-Baqarah : 260]

Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.

Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.

Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.

Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.

Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". [Al-Mudatstsir : 31]

"Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?'. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". [At-Taubah : 124-125]

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya.

[1]. Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya dari pada yang lain.

[2]. Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. :

"Artinya : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" [Adz-Dzariyat : 20-21].

Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.

[3]. Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.

Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu :

[1]. Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.

[2]. Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.

[3]. Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :"Artinya : Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". [Al-Hadits].

[4]. Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimannya dari sisi yang satu ini.


[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, hal 50-52 Pustaka At-Tibyan]

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants