Sabtu, 06 Agustus 2011

Tidur Waktu Puasa


Pertanyaan:
Benarkah  orang yang puasa bernilai ibadah?
Jawaban:
Hadis tentang “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” merupakan hadis yang tidak benar. Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Abdullah bin Abi Aufaradhiallahu ‘anhu. Hadis ini juga disebutkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, 1:242. Teks hadisnya,
نوم الصائم عبادة ، وصمته تسبيح ، ودعاؤه مستجاب ، وعمله مضاعف
Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalnya dilipatgandakan.”
Dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman bin Amr An-Nakha’i. Setelah membawakan hadis di atas, Al-Baihaqi memberikan komentar, “Ma’ruf bin Hassan itu dhaif, sementara Sulaiman bin Amr lebih dhaif dari dia.”
Dalam Takhrij Ihya’ Ulumuddin, 1:310, Imam Al-Iraqi mengatakan, “Sulaiman An-Nakha’i termasuk salah satu pendusta.” Hadis ini juga dinilai dhaif oleh Imam Al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadir Syarh Jami’us Shaghir. Sementara, Al-Albani mengelompokkannya dalam kumpulan hadis dhaif (Silsilah Adh-Dhaifah), no. 4696.
Oleh karena itu, wajib bagi seluruh kaum muslimin, terutama para khatib, untuk memastikan kesahihan hadis, sebelum menisbahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamKita kita boleh mengklaim suatu hadis sebagai sabda beliau, sementara beliau tidak pernah menyabdakannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama kalian. Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (H.r. Bukhari dan Muslim)
Allahu a’lam.
Tanya-jawab ini disadur dari Fatwa Islam (http://www.islam-qa.com/ar/ref/106528) oleh Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajid.

Rabu, 03 Agustus 2011

Hukum Menyelundupkan Barang


Pertanyaan, “Apa hukum menyelundupkan barang sehingga tidak terkena bea cukai dan pajak, bekerja sama dengan para penyelundup, atau pun mengirimkan barang untuk dibawa oleh para penyelundup, terlebih-lebih lagi manakala pengangguran semakin merajalela dan susahnya cari kerja? Bolehkan memperdagangkan barang ekspor atau pun impor gelap setelah berhasil diselundupkan?”
Jawaban, “Jika negara melarang impor barang secara ilegal atau pun ekspor barang secara ilegal, dalam rangka membela kepentingan umum kaum muslimin, maka aturan pemerintah semacam ini tidak boleh dilanggar, baik dengan secara langsung melakukan penyelundupan barang, bekerja sama dengan para penyelundup, atau pun menyetok barang untuk para penyelundup.
Hal itu mengingat kaidah fikih ‘peraturan pemerintah yang ditetapkan karena menimbang maslahat rakyat itu tidak boleh dilanggar’. Terlebih lagi, jika barang impor atau ekspor barang secara ilegal itu bisa menghancurkan perekonomian negara. Di samping dampak buruk lain --yang ditimbulkan dengan beredarnya barang impor ilegal atau jeleknya kualitas barang yang diekspor secara ilegal, yang secara tidak langsung bisa memberikan dampak buruk-- yaitu citra negatif untuk produk-produk dalam negeri di pasar dunia, yang pada gilirannya bisa merusak lapangan kerja dan menimbulkan gangguan sosial di masyarakat.
Ketentuan di atas berlaku jika larangan ekspor atau impor ilegal itu dikeluarkan oleh pemerintah karena pertimbangan ekonomi untuk membela kepentingan umat dan menjaga stabilitas masyarakat, dengan membuat aturan ekspor dan impor secara adil yang membawa kemanfaatan bagi kaum muslimin. Dalam kondisi semisal ini kita wajib menaati aturan pemerintah yang bukan kemaksiatan.
Akan tetapi, jika aturan pelarangan ekspor dan impor barang secara ilegal itu bukan karena membela kepentingan banyak orang, namun untuk mewujudkan kepentingan segelintir orang yang ingin menguasai pasar, memonopoli produk, mengatur harga pasar, dan merugikan konsumen, maka itu sama sekali bukanlah aturan yang adil yang menguntungkan kaum muslimin. Dengan demikian, tindakan yang lebih baik adalah tidak melakukan penyelundupan karena tindakan ini bisa membahayakan diri sendiri, serta menyebabkan pelakunya mendapatkan perlakuan yang menghinakan manakala dia tertangkap melakukan penyelundupan. Selain itu, tindakan ini bisa menyebabkan harta penyelundup itu disita, rusak, atau hilang.
Telah dimaklumi bersama bahwa menjaga dan melindungi diri, harta, dan kehormatan merupakan bagian tujuan syariat yang wajib kita jaga.
Memperdagangkan barang selundupan itu diperbolehkan, asalkan barang tersebut sudah benar-benar beredar di pasar dalam negeri. Syaratnya, barang tersebut bukanlah barang yang zatnya haram, bukan sarana pendukung kemaksiatan, serta bukanlah barang yang akan disita oleh pihak yang berwenang jika ketahuan diperjualbelikan di pasar.
Memperdagangkan barang selundupan yang memenuhi ketentuan di atas itu status hukumnya sama dengan status hukum memperdagangkan barang-barang mubah yang bisa beredar di pasar-pasar dengan cara-cara ilegal non-penyelundupan, yaitu boleh saja diperdagangkan."
Referensi: http://www.ferkous.com/rep/Bi145.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Senin, 01 Agustus 2011

Batasan Berjilbab


Assalamu’alaikum ustadz, sebenarnya bagaimana sich batasan wanita bercadar dalam berpakaian? Apakah cukup yang penting tidak membentuk lekak-lekuk tubuh atau jilbabnya harus sebetis? Adakah keutamaannya? Apa ini tidak termasuk ghuluw dalam berpakaian? Syukran wa barakallahu fikum.
0812XXXXXX

Jawab:
Para ulama sepakat tentang pensyariatan cadar yang menutup wajah seorang muslimah ketika berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram (bukan muhrim, karena muhrim berarti orang yang berihram). Mereka hanya berbeda pendapat tentang hukumnya, wajib atau sunnah. Kesimpulannya, bercadar lebih baik daripada yang tidak, karena lebih menutupi keindahan dan perhiasan wanita. Sebagian ulama diantaranya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rohimahulloh– memberikan batasan standar berjilbab yang tidak menyelisihi syariat. Di antara batasan tersebut adalah:
1. Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan-menurut beliau-  (lihat al-Ahzab: 59 dan an-Nuur: 31).Selain keduanya, seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan banyak ulama lain mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali.
2. Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian. Seperti jilbab yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa atau hiasan lainnya seperti bordiran yang mencolok dan menarik orang lain untuk melihatnya.
3. Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Ini berlaku bagi yang bercadar atau hanya berjilbab tanpa cadar. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi, pelajar maupun ibu-ibu di sekitar kita yang mencontoh para artis, itu jelas tidak sesuai syariat.
4. Tidak diberi wangi-wangian atau parfum, karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.”(Riwayat Muslim).
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki, seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya, karena Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. (Riwayat Bukhari)
6. Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka di antaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.
7. Bukan untuk mencari popularitas. Untuk itu, setiap kali kita berpakaian maka lihat kembali niatnya, apakah kita berpakaian agar terkenal atau mencari popularitas dan pujian orang?
Dengan demikian jelaslah bahwa seorang yang bercadar minimal mengenakan pakaian yang menutupi lekak-lekuk tubuhnya dan bila berkerudung sampai betis pun tidak termasuk ghuluw (berlebihan), karena semakin tertutup semakin baik. Lihatlah keterangan Ummu Salamah –rodhiyallohu ‘anha– ketika mendengar sabda Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–,
« مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ « فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ ».
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya secara sombong (melebihi mata kaki), maka Allah tidak melihat kepadanya pada hari kiamat.”
Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan para wanita yang membuat bagian belakang bajunya lebih panjang (seperti berekor)?” Maka Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam– menjawab, “Ulurkan sejengkal.”
Ummu Salamah pun bertanya lagi, “Kalau begitu akan tampak telapak-telapak kaki mereka?” Maka Nabi bersabda, “Ulurkan satu hasta dan jangan lebih!”
Di sini jelas, panjang pakaian wanita baik kerudung maupun bajunya sampai menutupi seluruh telapak kakinya belum dikatakan berlebihan, apalagi hanya sebetis.
Sepanjang pengetahuan saya, belum diketahui adanya keutamaan khusus memakai kerudung yang besar sampai sebetis, namun semakin tertutup semakin baik bagi wanita muslimah.Wallahu A’lam
Dijawab oleh: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Rubrik Konsultasi Syariat, Majalah Nikah Sakinah Vol. 9 No. 11

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants