Rabu, 29 Juni 2011

TAHLILAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6

Selasa, 28 Juni 2011

Bolehkah Menikahi Wanita Ahlul Kitab?

Bolehkah Menikahi Wanita Ahlul Kitab?
(Dijawab oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari) 

Bolehkah menikah dengan wanita-wanita dari kalangan Ahlul Kitab?

Muhammad Pandi
sup…@yahoo.com
Dijawab oleh:
al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah l dalam surat al-Ma’idah ayat 5:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian serta sembelihan kalian halal bagi mereka. Begitu pula al-muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan al-muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:
1.    Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil.
Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Imam asy-Syafi’i t, sebagaimana dinukilkan oleh al-Baihaqi t dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309). Beliau berkata, “Siapa pun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapa pun yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125)
2.    Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nasrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, yang dia mentauhidkan Allah l dan tidak berbuat syirik.
Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyah (beragama Nasrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat al-Baqarah:
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah l maka dia haram untuk dinikahi, meskipun dia Yahudi atau Nasrani. Adapun bila dia mentauhidkan Allah l meskipun dia tidak beriman kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad n maka dia halal untuk dinikahi. (asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar)
3.    Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani, baik dari kalangan Bani Israil maupun yang lainnya, baik dia mengikuti agama Yahudi atau Nasrani yang murni dan mentauhidkan Allah l, maupun mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah l. Semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani t dalam Fathul Qadir (2/15), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t dalam Taisirul Karimir Rahman (hlm. 221—222), dan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t dalam asy-Syarhul Mumti’ (5/218).
Pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah, dengan dalil-dalil berikut.
a.    Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaukani.
b.    Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat al-Baqarah:
karena Allah l menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah l juga menerangkan tentang kesyirikan serta kekufuran mereka sebagaimana dalam surat al-Ma’idah ayat 72—73, dan surat at-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah l dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah l. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
c.    Dalam hadits Abu Sufyan z yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah n mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi, Rasulullah n menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nasrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38—39)
Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan al-muhshanat dalam ayat di atas.
1.    Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina), maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka maupun budak, asalkan dia afifah. Ibnu Jarir t menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).
2.    Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t. Mereka berdalilkan dengan firman Allah l dalam surat an-Nisa’ ayat 25:
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah l mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan materi untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan, dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah l membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah l: 
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3)
Pendapat ini dirajihkan oleh as-Sa’di dan al-Utsaimin, dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitabnya Ijabatus Sa’il (hlm. 614—615) menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam, karena dia masih kafir.
Akan tetapi, yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasihatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya, karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri telanjur mencintai suaminya, biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, asy-Syaikh Muqbil t menasihatkan dalam Ijabatus Sa’il (hlm. 531), bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyah atau Nashraniyah. Terlebih jika di negeri tersebut, Yahudi atau Nasrani lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan memengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nasrani.
Saya (penulis) tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.

Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.

Jumat, 24 Juni 2011

Saling Berjabat Tangan Setelah Shalat Sebenarnya Tidak Ada Dalilnya

Berjabatan tangan atau mushafahah memang dianjurkan dalam Islam. Hukumnya sunnah. Berjabat tangan dapat dilakukan kepada orang yang sudah kita kenal maupun yang belum kita kenal. Sama dengan salam, dapat disampaikan kepada yang sudah dikenal maupun yang belum. Tidak masalah, yang penting punya prediksi bahwa orang itu Islam. Dan, berjabat tangan dapat dilakukan di mana saja, misalnya di kantor, di pasar, di sawah, di pantai, di mushala, atau masjid. Bahkan, saking semangatnya ada sebagian santri yang bertemu dengan kawan di halaman masjid, lalu ia berjabat tangan, malah ada yang minta telapak tangan depan dan belakang. Setelah shalat fardhu berlangsung, ia berjabat tangan lagi kanan-kiri dengan kawan baru lagi. Juga, setelah shalat ba'diyah, ia berjabat tangan kanan-kiri sebagai tanda berpisah.




Karena berjabat tangan itu dilakukan sebelum atau sesudah shalat, lantas orang berasumsi bahwa berjabat tangan itu ada kaitannya dengan shalat. Hal itu tentu memerlukan kajian tersendiri. Mestinya berjabat tangan disunnahkan ketika bertemu atau berpisah. Sedang berjabat tangan setelah shalat, sebenarnya tidak ada dalil. Akan tetapi, lebih baik berjabat tangan itu dinisbatkan atas bertemu dan atau akan berpisah dengan kawan sesama muslim.



Hal ini dapat kita lihat dari hadits pertama:



والمختار أن يقال : ان صافح من كان معه قبل الصلا ة فمباحة كما ذكرنا. وان صافح من لم يكن معه قبلها فمستحبة لان المصا فحة عند اللقاء سنة بالاجتماع للا حا ديث الصحيحة فى ذالك



Pendapat yang layak dipilih ialah; Bila jabat tangan itu dilakukan saat sebelum shalat, itu boleh-boleh saja. Kalau berjabat tangan itu dilakukan jauh sebelum shalat dikerjakan, itu memang dianjurkan karena berjabat tangan ketika bertemu itu memang disunnahkan. Para ulama sepakat dalam hal ini karena memang ada hadits shahih tentangnya. [Al Majmu li an Nawawy, Juz III halaman. 470]



Dalil kedua;


مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا. رواه أحمد فى مسنده و أبو داود و الترمذى وابن ماجة والضياء عن البراء



Apabila dua orang muslim bertemu lalu berjabatan tangan, keduanya pasti akan diampuni (dosanya) sebelum mereka berpisah. (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Dhiya', dari Barra']


Dalil ketiga;


و تسن مصافحة الرجلين و المر أتين وتحرم مصافحة الرجل للمر أة أللأجنبية من غير حائل



Disunnahkan berjabat tangan antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Haram hukumnya bila berjabat tangan itu dilakukan dengan jenis lain (laki-laki dengan perempuan) yang bukan muhrimnya tanpa adanya satir (penghalang). [Tanwir al Qulub, halaman. 199]



________

Sumber :

Ditulis ulang sesuai dengan isi Buku Tradisi Orang-Orang NU, Penulis H. Munawir Abdul Fattah, Penerbit Pustaka Pesantren. Halaman .199-201

Inilah Dosa Terbesar yang Harus Anda Jauhi

Kamis, 23 Juni 2011

Dampak Buruk Makanan Haram bagi Seorang Muslim

~PESAN UNTUK (calon)SUAMI & ISTRI~

Untuk (Calon) Suamiku



Pernikahan atau perkawinan,

Menyingkap tabir rahasia.

Istri yang kamu nikahi,

Tidaklah semulia Khadijah,

Tidaklah setaqwa Aisyah,

Pun tidak setabah Fatimah

Apalagi secantik Zulaikha

Justru Istrimu hanyalah wanita akhir zaman,

Yang punya cita-cita,

Menjadi solehah…

Pernikahan atau perkawinan,

Mengajar kita kewajiban bersama.

Istri menjadi tanah, kamu langit penaungnya,

Istri ladang tanaman, kamu pemagarnya,

Istri kiasan ternakan, kamu gembalanya,

Istri adalah murid, kamu mursyidnya,

Istri bagaikan anak kecil, kamu tempat bermanjanya.

Saat Istri menjadi madu, kamu teguklah sepuasnya,

Seketika Istri menjadi racun, kamulah penawar bisanya,

Seandainya Istri tulang yang bengkok, berhatilah meluruskannya.

Pernikahan atau perkawinan,

Menginsyafkan kita perlunya iman dan taqwa.

Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,

Karena memiliki Isteri yang tak sehebat mana,

Justru kamu akan tersentak dari alpa,

Kamu bukanlah Rasulullah,

Pun bukanlah Sayyidina Ali Karamallahhuwajhah,

Cuma suami akhir zaman, yang berusaha menjadi soleh…



Untukku (Calon) Istrimu



Pernikahan atau perkawinan,

Membuka tabir rahasia.

Suami yang menikahi kamu,

Tidaklah semulia Muhammad SAW,

Tidaklah setaqwa Ibrahim,

Pun tidak setabah Ayyub,

Atau pun segagah Musa,

Apalagi setampan Yusuf.

Justru suamimu hanyalah pria akhir zaman,

yang punya cita-cita,

Membangun keturunan yang soleh …….

Pernikahan atau perkawinan,

Mengajar kita kewajiban bersama.

Suami menjadi pelindung, kamu penghuninya,

Suami adalah nahkoda kapal, kamu navigatornya,

Suami bagaikan balita yang nakal, kamu adalah penuntun kenakalannya,

Saat Suami menjadi raja, kamu nikmati anggur singgasananya,

Seketika Suami menjadi bisa, kamulah penawar obatnya,

Seandainya Suami masinis yang lancang, sabarlah memperingatkannya..

Pernikahan ataupun Perkawinan,

Mengajarkan kita perlunya iman dan takwa,

Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,

Karena memiliki suami yang tak segagah mana,

Justru Kamu akan tersentak dari alpa,

Kamu bukanlah Khadijah, yang begitu sempurna di dalam menjaga,

Pun bukanlah Hajar, yang begitu setia dalam sengsara,

Cuma wanita akhir zaman, yang berusaha menjadi solehah,



Amin.

Wassalam,

(¯`v´¯) ♥♥♥•♥•♥ `·.¸.·´ ♥♥.........¸.·´ Semoga bermanfaat... ♥♫♥♫♥♫♥♥♫♥♫♥♫♥♥♫♥♫ barakallaahu fiykum wa jazzakumullah khoir Salam Ukhuwah fillah (¯`v´¯) ♥♥♥•♥•♥ `·.¸.·´ ♥♥.........¸.·´... ¸.·´¨) ¸.·*¨)♥ ƸӜƷ.¸¸¸.••..ƸӜƷ..••.¸¸¸.ƸӜƷ ♥♫♥♫♥♫♥♥♫♥♫♥♫♥♥♫

Rabu, 22 Juni 2011

Tata Cara Sholat Gerhana


Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud.
Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:

[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8]Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Salam.

[12] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

SHALAT GERHANA BERJAMA'AH ATAU SENDIRI2?

Dalam hadits Â’isyah Radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata :

خرج النبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد، فقام وكبر، وصف الناس وراءه

“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan manusia berbaris di belakang beliau.” (Muttafaq ‘alaihi)

Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya jama’ah pada sholat gerhana. Mereka membedakan antara sholat kusûf (gerhana matahari) dan khusûf (gerhana bulan).

Ulama ahli fikih bersepakat bahwa sholat gerhana matahari disunnah untuk dilaksanakan secara berjama’ah di masjid dan diserukan sebelumnya dengan seruan : “ash-Sholatu Jâmi’ah”. Syâfi’iyah dan Hanâbilah memperbolehkan untuk melakukannya secara sendiri-sendiri (munfarid), dengan alasan berjama’ah hanyalah sebatas sunnah saja, bukanlah merupakan syarat. Sedangkan Hanafiyah berpendapat, apabila imam tidak datang, maka manusia boleh sholat sendiri-sendiri di rumah mereka.

Adapun sholat gerhana bulan, Hanafiyah dan Mâlikiyah berpendapat lebih disukai untuk melaksanakannya secara munfarid sebagaimana sholat-sholat sunnah lainnya. Sebab, menurut mereka, sholat gerhana bulan belum pernah ada yang menukilkan pernah dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, padahal gerhana bulan itu lebih sering terjadi ketimbang gerhana matahari. Mereka juga beralasan bahwa hukum asal sholat yang bukan wajib adalah tidak dilaksanakan secara berjama’ah dan dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :

صلاة الرجل في بيته أفضل إلا المكتوبة

“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih utama, kecuali sholat yang wajib.”

Kecuali, apabila ada dalil khusus yang menunjukkan pelaksanaannya secara berjama’ah, seperti sholat îd, tarawih dan gerhana matahari. Menurut mereka, berkumpul pada malam hari dapat menyebabkan timbulnya fitnah.

Sedangkan Syâfi’iyah dan Hanâbilah berpendapat bahwa sholat gerhana bulan (khusûf) dilakukan secara berjama’ah sebagaimana sholat gerhana matahari (kusûf). Mereka juga melandaskan pendapatnya dengan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ yang melakukan sholat gerhana bulan bersama manusia di masjid, beliau berkata :

صليت كما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya melakukan sholat sebagaimana saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukannya.”

Sebagaimana pula di dalam hadits Mahmûd bin Lubaid, beliau mengatakan :

فإذا رأيتموها كذلك فافزعوا إلى المساجد

“Apabila kalian melihat gerhana bulan, maka bersegeralah ke masjid.”

Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323) 
[http://id-id.connect.faceb/ook.com/note.php?note_id=1
43500945713871]
Nasehat Terakhir
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat.
Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Lihat Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga dapat mengetahui hal ini.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.
Wallahu a'lam.

10 Pembatal Keislaman


Syaikh Muhammad at Tamimi rahimahullah (wafat 1206 H)
Ketahuilah bahwa pembatal-pembatal keislaman itu ada 10:
Pertama: Syirik dalam beribadah kepada Allah. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (an-Nisa` : 48)
Dan Allah berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (al Maidah: 72)
Diatara bentuk kesyirikan adalah menyebelih untuk selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau kuburan.

Kedua: Menjadikan perantara (wasilah) antara dirinya dan Allah, menyeru mereka, meminta syafaat dari mereka, bertawakal kepada mereka, maka kafir secara ijma’.
Ketiga: Tidak mengkafirkan orang-orang yang musyrik, atau ragu atas kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab/kepercayaan mereka, maka kafir.
Keempat: Berkeyakinan petujuk selain Rasulullah sempurna baik dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, atau menganggap hukum selainnya lebih baik dari hukum beliau seperti orang yang lebih mengutamakan hukum para thagut atas hukum beliau, maka mereka kafir.
Kelima: Barangsiapa benci terhadap sesuatu yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam, walaupun mengamalkannya, maka kafir.
Keenam: Barangsiapa mengolok-olok sesuatu yang ada dalam agama Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassallam, atau Allah, atau adzabNya, maka kafir. Dalilnya adalah firman Allah,
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ. لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman (Taubah: 65-66)
Ketujuh: Sihir, diantaranya yaitu sharf*) dan athf**), barangsiapa melakukannya atau ridho dengannya maka kafir. Dalilnya firman Allah Ta’ala,
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ و ما
Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu dari sihir) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu jangnalah kamu kafir”. (Al Baqarah: 102)
Kedelapan: Membela dan Menolong orang-orang musyrik melawan kaum muslimin. Dalilnya adalah firman Allah,
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al Maidah: 51)
Kesembilan: Barangsiapa berkeyakinan bahwa ada sebagian manusia yang diperbolehkan untuk keluar (tidak mengamalkan) syariat Nabi Muhammad, sebagaimana bolehnya Nabi Khidir keluar dari syariat Nabi Musa alaihimassalam, maka dia kafir.
Kesepuluh: Berpaling dari agama Allah Ta’ala, tidak mempelajari dan mengamalkanya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa. (as Sajdah: 22)
Tidak ada bedanya bagi seluruh pembatal ini baik bercanda, serius, atau dengan takut, kecuali jika terpaksa. Semua hal itu adalah hal yang paling berbahaya dan paling banyak terjadi. Maka hendaknya setiap muslim berhati-hati dengannya dan takut darinya atas dirinya.
Kita berlindung kepada Allah dari penyebab murkaNya dan dari pedihnya siksaNya. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk sebaik-baik makhluq, Nabi Muhammad, dan atas keluarga serta sahabatnya.
Rujukan teks dalam bahasa arab: Nawaaqidhul Islam karya Syaikh Muhammad at Tamimi rahimahullah, teks diambil dari Mutun Thalibil Ilmi (Kumpulan Matan untuk Penuntut Ilmu) tingkat pertama yang disusun oleh Dr. Abdul Muhsin Qasimi -Iman dan Khatib Masjid Nabawi- hafidzahullah
Selesai diterjemahkan di Riyadh, 16 Rajab 1432 (18 Juni 2011)
Abu Zakariya Sutrisno
Notes: *) Sharf: Guna-guna/pembenci, sihir untuk membuat dua orang (atau suami istri) jadi saling benci
**) Athf: Pelet/perekat, sihir untuk membuat dua orang saling suka

Selasa, 21 Juni 2011

Ceramah · Abu Umar Basyier · Ta'aruf Dulu Baru Nikah

10 Kebiasaan yang Dapat Merusak Otak


Oleh Moch. Rachdie Pratama (Abu Salma)
Berikut ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang dapat merusak otak. Artikel ini saya dapat dari email seorang rekan di Riyadh, KSA yang berjudul “al-Aadaat allatii tudammirud Dimaagh” (Habits That Destroy The Brain). Dikarenakam isinya cukup menarik dan bermanfaat, maka saya sharing di sini. Semoga bisa bermanfaat.
1. No Breakfast
Tidak Sarapan/’Adamul Ifthaar
Orang yang tidak sarapan akan menyebabkan tingkat gula darah yang rendah. Hal ini akan menyebabkan asupan nutrisi yang kurang memadai bagi otak sehingga menyebabkan penurunan fungsi otak (Brain Degeneration)
2. Overeating
Makan berlebihan/al-Akluz Zaa’id akan menyebabkan pengerasan arteri otak, yang dapat menyebakan penurunan kekuatan mental.
Merokok/at-Tadkhin dapat menyebabkan pengerutan otak multiple yang bisa menyebabkan gangguan Alzheimer.
4. High Sugar Consumption
Mengonsumsi gula secara berlebihan/as-Sukrol ‘Aali dapat menyebabkan gangguan absorbsi protein dan nutrisi sehingga menyebabkan malnutrisi yang berhubungan dengan perkembangan otak.
5. Air Pollution
Pencemaran udara/Talawwutsul Hawa’
Otak kita adalah pengkonsumsi oksigen terbesar di tubuh kita. Menghirup udara terpolusi dapat menurunkan suplai oksigen ke otak, sehingga menyebabkan penurunan fungsi efisiensi otak.
6. Sleep Deprivation
Kurang tidur/Qillatun Naum
Tidur akan membantu otak untuk beristirahat. Kurang tidur yang berkepanjangan akan mempercepat kematian sel otak.
7. Head covered while sleeping
Menutup wajah ketika tidur/Taghtiyatul wajh atsna’in naumdapat menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida dan menurunkan kadar oksigen yang dapat memberikan efek kerusakan otak.
8. Working your brain During illness
Berfikir keras pada saat sakit/Izhaaqud Dimaagh bil ‘amal atsna’il maradh
Bekerja keras atau belajar pada saat sakit dapat menurunkan efektivitas fungsi otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
9. Lacking in stimulating thoughts
Jarang merangsang fikiran/Qillatul Afkaar al-Muhfazah
Berfikir adalah cara terbaik untuk melatih otak kita, jarang merangsang fungsi otak dapat menyebabkan penyusutan otak.
10. Talking Rarely
Jarang bicara/nadiratul kalaam
Perbincangan intelektual dapat mendukung efisiensi kerja otak.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Top Web Hosting | manhattan lasik | websites for accountants